Esai Ferdinan De J Saragih

Tubuh dan Organ-organ Bahasa

Ungkapan atau Idiom adalah sesuatu yang amat lumrah terdapat dalam semua bahasa-bahasa yang ada di dunia, karna Ungkapan atau Idiom tidak pernah lepas dari setiap

masyarakat. Akan tetapi tidak dapat juga dipisahkan antara ungkapan dan Bahasa, karena bahasalah semua pangkal daripada makna-makna yang ada, jadi dapat disimpulkan ungkapan ada sesudah Bahasa ada. “Bahasa membuat kita percaya akan adanya komunikasi. Dan membuat masyarakat mempunyai etika, moral dan estetika, tidak gagap dalam menjalani interaksi sosial”. Ungkap faisal syahreza dalam essainya yang berjudul “Budak Bahasa”.

Bahasa dalam masyarakat adalah “tubuh” itu sendiri, dan makna-makna dalam garapan Semantik sebagai organ-organ yang membuat tubuh itu menjadi tumbuh dan bergerak, seumpamanya manusia.

Menurut Ferdinand De Saussure bahwa makna adalah "pengertian" atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu/referen yang diacu oleh kata/leksem itu. Makna adalah garapan semantik. Makna tersebut dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya Makna Leksikal, gramatikal, kontekstual, Makna referensial dan nonreferensia, Makna denotatif dan makna konotatif, Makna konseptual dan makna asosiatif, Makna kata dan makna istilah, Makna idiom dan peribahasa.

Selain itu semantik juga menelaah relasi makna. Relasi makna Adalah hubungan secara semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Antara lain: Sinonim, Antonim, Polisemi, Homonimi, Hiponim, Redundansi, Ambiguiti atau Ketaksaan. Sampai kepada perubahan makna, diantaranya makana meluas, makna menyempit, dan perubahan makna total. Hingga pada medan makna dan komponen makna.

Pada tulisan kali ini akan di jelaskan organ yang sangat berperan penting dalam bahasa itu, hingga membuatnya berkembang dan bertumbuh. Yaitu mengenai ungkapan atau idiom itu sendiri, hingga penggunaannya di dalam masyarakat indonesia yang sampai saat ini belum diajarkan kepada masyarakat layaknya penggunaannya dalam berkomunikasi yang seharusnya sangat penting, untuk menjadi penggerak dalam perkembangan bahasa Indonesia.

Ungkapan sangat penting dalam bahasa. Ungkapan berfungsi menghidupkan, melancarkan serta mendorong perkembangan bahasa Indonesia supaya dapat mengimbangi perkembangan kebutuhan bahasa terhadap ilmu pengetahuan dan keindahan sehingga tidak membosankan. Tata bahasa ibarat kebun, ungkapan ibarat kembang-kembangnya. Dilihat dari bentuk dan prosesnya.

Abdul Chaer (1994) berpendapat bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’; tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi ialah yang disebut makan idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah bentuk membanting tulang yang bermakna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan, dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’.

Menurut Djoko Saryono, makna idiomatis adalah makna konstruksi yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan atau dijabarkan dari makna unsur-unsur pembentuknya. Contohnya: tanah air ‘ negeri tempat lahir’, besar kepala ‘sombong’, dan mengambing hitamkan ‘menuduh bersalah’.

I.G.N. Oka dan Suparno (1994) menyatakan bahwa makna kias adalah makna yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya.

Jadi secara umum ungkapan berarti gabungan kata yang memberi arti khusus atau kata-kata yang dipakai dengan arti lain dari arti yang sebenarnya. Ungkapan dapat juga diartikan makna leksikal yang dibangun dari beberapa kata, yang tidak dapat dijelaskan lagi lewat makna kata-kata pembentuknya.

Ada dua macam bentuk idiom atau ungkapan, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom penuh.

Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’; daftar hitam yang bermakna ‘daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan’; dan koran kuning dengan makna ‘koran yang biasa memuat berita sensasi’. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya.

Ungkapan juga bersifat seperti bahasa pada umumnya. Ungkapan selalu berkembang mengikuti bahasa itu sendiri, seiring dengan perkembangan jaman. Sehingga menurut jaman ungkapan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Ungkapan lama dan ungkapan baru. contoh-contoh ungkapan lama masih dapat kita jumpai pada jaman sekarang ini, seperti: matanya bagai bintang timur : bersinar atau tajam, rambutnya bagai mayang mengurai : ikal atau keriting, berminyak air : berpura-pura. Contoh Ungkapan baru, seperti: ranjau pers : undang-undang pers, berebut senja : siang berganti malam, ranum dunia : penyebab kesulitan.

Dalam komunikasi secara lisan ataupun tidak lisan, masyarakat sering menyelipkan sebuah ungkapan atau idiom dalam suatu komunikasi. Ini bertujuan untuk memperjelas suatu makna atau maksud tertentu.

Dalam ranah sastra, baik puisi ataupun prosa. Sering dibubuhi oleh ungkapan-ungkapan. Seumpama sayur yang dibubuhi banyak ramuan atau bumbu untuk menjadikannya nikmat. Dalam sastra ramuan itu sejenis dengan ungkapan. Sehingga karya itu menjadi hidup, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang di ungkapkan oleh Si penulis atau penyair.

penyair dalam memandang bahasa. Bahasa, bagi seorang penyair adalah miliknya yang paling berharga. Dengan bahasa ia mengutuk atau mencaci maki dunia, tetapi juga dengan bahasa ia menyanyikan perasaannya atau mengembara dalam angan-angannya. Bahasa tidak pernah kering dalam jiwanya, setiap sentuhan, setiap situasi, setiap merasa dan mengagumi, dicobanya hendak ditemukan dalam bahasa. Itulah pentingnya bahasa bagi seorang penyair. Bahasa adalah nyawanya sendiri, jadi tidak seorangpun yang dapat memisahkan bahasa dengan penyair, karena sama halnya dengan mengambil nyawanya. Dalam penggunaan bahasa yang di godok oleh seorang penyair tersebut, dia sangat membutuhkan makana-makna yang di kaji semantik, seperti ungkapan itu sendiri. Contohnya dapat kita lihat dari cuplikan cerpen Sutarji Calzoum Bachri yang berjudul “Menulis” berikut,

“Nahar, mahasiswa yang jarang meninggalkan kamar, kutu buku, mengangguk dan merenungkan kata-kataku itu. Dinding kamarnya penuh buku-buku falsafah dan ilmu-ilmu yang berat lainnya dari berbagai bahasa,”. (“hujan menulis ayam”). Kutu buku dalam kalimat ini berarti rajin membaca buku.

Atau dari puisi Gugun gunawan yang berjudul “Bandung: dimana kau?” “Kau kini yang hilang, ‘tah kemana,Yang meninggalkan kenangan”, Pahit Negri ini (“Bandung dalam puisi”). Pahit negri ini, berarti suatu Negri yang miskin dan melarat.

Pada jaman sekarang ini ungkapan atau idiom sudah sering digunakan dalam media, baik media tertulis ataupun elektronik. Ungkapan sangat penting bagi perkembangan suatu media, yaitu untuk menarik minat dan menggugah nurani pembaca dan pendengar. Tapi sangat disayangkan jika diantara ungkapan-ungkapan yang sering di gunakan oleh mediator tersebut tak mampu diartikan oleh masyarakat, khususnya masyarakat awam. Sehingga mengakibatkan masyarakat tersebut acuh-tak acuh pada suatu berita atau tulisan yang diberikan.

Selain itu media tersebut tidak jarang menggunakan suatu ungkapan yang kurang wajar, misalnya saja bahasa seksis yaitu bahasa yang mengandung kekerasan simbolik, yang di dalamnya terjadi pemaksaan secara halus posisi subordinasi dan rendah perempuan lewat bahasa (ternoda, tercela, tuna susila, binal, emosional). Kekerasan simbolik terhadap perempuan di dalam media pemberitaan tidak dapat dipisahkan, dan merupakan efek langsung, dari kekerasan yang dilakukan oleh penulis suatu berita terhadap bahasa itu sendiri, khususnya berupa ‘pemerkosaan bahasa’. Pemerkosaan bahasa, yaitu pemilihan kata-kata (diksi) serta penggunaan cara-cara pengungkapan, dengan msnggunakan makna-makna dalam semantik khususnya ungkapan. sebagaimana yang dikatakan Ricoeur, sehingga menciptakan “kegelapan semantik” atau ‘ketidakpastian makna yang terkandung dalam ungkapan’. Hal ini akan mengajak masyarakat khususnya kaum adam untuk memuji berita yang sangat rendahan itu.

Hal tersebut diataslah membuat ungkapan itu hanya sebuah bahasa biasa, yang kadang merusak bahasa dan masyarakat atau bahasa sastranya mati, lesu dan rusak. Ini menghambat perkembangan sebuah bahasa, khususnya bahasa Indonesia, karena tanpa makna-makna yang digarap oleh semantik, suatu bahasa akan sulit untuk bergerak. Ini juga akan berpengaruh kepada masyarakat Indonesia, mengenai pemakayan bahasa Indonesia, bukti nyatanya, pada jaman sekarang ini bahasa Indonesia telah didahului oleh bahasa inggris di Negrinya sendiri. Ini sangat bersifat fatal kepada garapan Sosiolinguistik pula, mengenai penutur bahasa Indonesia dalam Masyarakat.

Suatu hal yang harus dibedah lagi, khususnya kepada mereka yang mempunyai otoritas dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia, seperti penulis, media masa, elektronik dan sebagainya, seharusnya memberikan suatu catatan kecil mengenai makna yang terkandung di dalam suatu ungkapan yang mungkin belum bisa dicerna oleh masyarakat awam.

Penulis: Ferdinaen Saragih

0 Response to "Esai Ferdinan De J Saragih"

Post a Comment