Komersialisasi Pendidikan Wujud Nyata Kapitalisme

“Pendidikan adalah hak mutlak sekaligus sebagai hak asasi manusia ”

Disadari atau tidak sistem pendidikan kita telah dirasuki oleh suatu sistem yang bernama komersialisme. Sejak negara sepakat menerapkan sistem pasar bebas era globalisasi, semua sektor kehidupan dijadikan sebuah sistem komersialisme termasuk sistem pendidikan. Jadi jangan heran jika pendidikan di Indonesia termasuk mahal dan tidak berpihak kepada rakyat.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah proses menuju peradaban. Seorang penyair pernah berkata, tidak akan disebut sebagai manusia jika dia tidak berpendidikan. Dalam UUD 1945 pun menyebutkan bahwa pendidikan berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah investasi bangsa (Nation investment) untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan merupakan tanggung jawab negara yang jelas diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4.

“Negara memprioritaskan anggaran pen­didikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penye­lenggaraan pendidikan nasional”.

Kewajiban konstitusi ini yang secara mutlak mengharuskan negara memprioritaskan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia, merupakan Hak Asasi Manusia yang berhak diperoleh oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut tercantum pada pasal 31 ayat 1: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan pasal 31 ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Jika melihat negara kita dalam dunia pendidikan global. Pada tanggal 5-9 Maret 1990 bertempat di Jomtien Thailand, Indonesia bersama dengan 155 negara lain telah menerima dan menandatangani Deklarasi Pendidikan untuk Semua (Education for All) yang dihasilkan oleh konferensi dunia yang diselenggarakan oleh UNESCO bertajuk “Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua”. Dalam konferensi itu dihasilkan suatu kesepakatan bahwa: “Kami para peserta Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, menegaskan kembali hak semua manusia untuk pendidikan. Imilah dasar bagi tekad kami, sendiri dan bersama, untuk menjamin pendidikan untuk semua”.

Tetapi sayangnya konferensi itu hanya sebagai kamuplase saja, kenyataannya pemerintah tidak konsisten dengan amanat konstitusi maupun peraturan lain yang harus menjamin pendidikan untuk semua. Bahkan pemerintah memutarbalikan tanggung jawab, dalam konstsitusi dijelaskan bahwa “Pendidikan adalah tanggung jawab negara” tetapi kenyataannya menjadi “Pendidikan adalah tanggung jawab bersama”. Hal tersebut diperkuat oleh liberaliasi pendidikan dan wujud konkret lainnya.

Kampus BHMN, produk kapitalis

Bersama dengan Dana Moneter Internasional(IMF), Indonesia pada tahun Tahun 1999 pemerintah RI menendatangani sebuah surat kesepakatan bersama yang inti kebijakannnya adalah pelaksanaan Kebijakan uang ketat (tight money policy) dan penghapusan subsidi untuk publik (terutama pendidikan dan kesehatan). Pemerintah Indonesia pada waktu itu memang tidak bisa berbuat apa-apa, dikarenakan sedang terjadi resesi global. Setelah menjadi “hamba” IMF, Indonesia diharuskan menghapus subsidi sektor keuangan; dan pelaksanaan privatisasi BUMN sebagaimana terungkap secara rinci dalam konsensus Washington yang disusun oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika. Alhasil Indonesia telah masuk ke dalam jurang kapitalis modern, bahkan sampai melanggar UUD 1945, padahal dengan diterapkan sistem seperti itu, bukan memakmurkan rakyat Indonesia dengan untaian perjanjian-perjanjian tertulis, tetapi justru akan membuat sesangsara rakyat Indonesia.

Dari sederet perjanjian dengan IMF, intinya Indonesia sudah masuk kedalam sistem kapitalis modern, implikasi nyata bagi dunai pendidikan adalah anggaran pendidikan yang selalu dinilai “sebelah mata”. Juga semua aset yang berbentuk pendidikan dapat dijadikan alat komersialisme. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia terbilang cukup mahal, bila dibandingkan dengan negara tetangga kita, Singapura misalnya.

Untuk melegalkan pelepasan tanggung jawab negara atas pendidikan, maka disahkan-lah berbagai perangkat peraturan baik perundang-undangan maupun peraturan pemerintah. Undang-undang dan peraturan tersebut pada dasarnya dibuat agar pendidikan di Indonesia menjadi komersil, kapitalistik, dan tidak berpihak pada rakyat. Disahkanlah PP No. 60 tahun 1999 tentang perguruan tinggi dan PP No. 61 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi sebagai badan hukum. Ini adalah implikasi nyata kapitalis pendidikan dengan dibentukan kampus Badan Usaha Milik Negara (BHMN)

Pada prakteknya, tahun 2000, saja empat perguruan tinggi di Indonesia sudah merubah statusnya menjadi PTN-BHMN, dengan dalih adanya otonomi kampus yakni UI, UGM, ITB, dan IPB. Tujuan otonomi kampus tiada lain untuk menghilangkan peran pemerintah dalam dunia pendidikan, seperti mengurangi subsidi pendidikan, dan mengurangi bantuan bagi PTN di Indonesia. Dengan Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000, keempat kampus tersebut berubah status dari perguruan tinggi milik rakyat menjadi lembaga yang tidak berpihak lagi pada rakyat. Kenapa dengan keempat PTN tersebut?karean hampir sebagian besar dana pendidikan untuk bantuan PTN diserap oleh keempat PTN tersebut. Alhasil pemerintah bisa berpaku tangan, tanpa memberikan bantuan sekalipun.

Dalam tataran PTN BHMN, kampus masing-masing diberikan keleluasaan untuk mengelola kampus dengan uang sendiri, artinya PTN-PTN tersebut harus memutar otak untuk menghidupi kampus, dan yang dapat dijadikan objek keuangan adalah mahasiswa sendiri. Maka jangan heran jika biaya pendidikan kita semakin mahal, ditambah dengan banyaknya pungli, dan komersialisme di berbagai segi pendidikan.

Jika tidak ada aral melintang desember nanti DPR akan mengesahkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, BHP ini tentunya merupakan turunan produk BHMN juga. Namun apakah dengan banyaknya RUU tentang pendidikan akan menjawab tantangan globalisasi terhadap dunia pendidikan Indonesia. Kita tunggu dengan sebuah harapan.

Hendri Hidayat, lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Essai dan karya sastra, Aktif dan bergabung sebagai aktivis di Unit Pers Mahasiswa Isola Pos dan komunitas Anak Sastra UPI

0 Response to "Komersialisasi Pendidikan Wujud Nyata Kapitalisme"

Post a Comment