Bila waktu
Mungkin hanya
Tinggal
Sebatas sebilah
Pintu rumah
Yang di tinggal
Pergi
Jauh oleh si empunya kembara
Maka betapa rindu
Palawangan itu
lalu
Untuk
Menemukan
Penghuni rumah itu
Ia kemudian
Berpuasa.
Puasalah ia dalam derit-jeritnya
Ia menahan
Lapar angin mengusap
Setiap geraknya
Dan dalam tolakannya
Ia kemudian
Berpuasa
Menciumi tangan orang-orang
Sebagai
Kesetian yang sanggup diuji
Dalam celah kunci
Ia berpuasa
Dan tak mau selingkuh
Dengan kunci lainya
Dan akhirnya
Genap sudah
Kerinduan membuka
Lebar cakrawala
Sebagai mata yang menghimpun
Dari segala arah angin.
: waktu hanyalah menunggu, saat nanti berbuka
Mungkin, barangkali ada tangan yang kukenali.
2008
Puasa rindu 2
Aku akan
Menahan laparnya
Tubuh yang mengaku
Mencintaimu
Dengan segenap musim
Yang memaktub rindu
Dan aku akan
Tengadah
Ke arah langit
Yang menghujaniku
Dengan seluruh
Ketololanku
Sebagai perindu
Yang dilupakan angka-angka
Di kalender
Kemudian aku
Akan meminang
Karang dan ikan-ikan
Di dasar lautan,
Sebagai tanda
Begitu dalam
Rasa yang
Aku tanamkan
Sebagai risalah
Yang
Mengabarkan
Kesabaran
Sebagai kendaran,
Merindukanmu.
2008
Puasa Rindu 3
Kehilangan waktu
Di ujung
Musim yang siap
Menelan kita
Ke dalam peristiwa
Pedih menguras airmata
Maka segalanya
Kita ikhlaskan
Hati kita
Maupun jiwa
Sebagaimana
Daunan mengikhlaskan
Dirinya
Pada tanah
Sebagai makam
Terakhir
Yang bakal diziarahi angin
Rindu sedang bersemedi
Di makam itu
Terkubur
Sebagai tubuh dari masa lalu
Dan di langit
Yang putih bulu merpati
Hujan rintik
Menitip salam
: bertahanlah
Sampai waktu
Bukan lagi masalah
Yang mesti diributkan dan diperebutkan.
2008
Puasa rindu 4
Kepedihan
Hanyalah sungai
Yang membawa kenangan pada
Ibunya : lautan
Dengan segenap kisah
Yang penuh peluh
Tentang bagaimana lelahnya
Mencintaimu itu
Dan kesedihan hanyalah
Penjara
Bagi terpidana daun dan tetumbuhan
Yang ditingkahi hujan
Bila sore tiba juga
Menghapus
Duka ditinggal kekasih.
Bagaimana
Perasaan, bila
Harus berbicara
Soal ketegaran
Memasuki
Ruang tak diketemukan pun
Seseroang di sana yang kita kenal.
Kita akan terlempar
Pada padang kesunyian
: di jejak yang kita susuri
Kita terpenggal airmata
Sebagai orang sesat.
2008
Ziarah mata
Bolehkah
Aku pinjam matamu?
Akan aku pakai
Untuk bercermin
Menyaksikan diriku sendiri
Dari sudut ruang pandangmu
Seburuk apakah aku
Hingga kau enggan
Menyisakan cinta
Untuk kureguk
Barang setetes saja.
Ah mungkin, airmata
Telah lama menjenguk
Aku yang masih tunduk
Dalam sunyi ; menyaksikanmu
merajut malam begitu penuh kecemasan.
2008
Ziarah tangan
Tangan bukan
Terlahir sebagai penggenggam
Tapi sebagai penunjuk jalan,
Ke sana jalanku
: jalan menikung menuju rumahmu
Menyembuhkan luka-lukamu
Bisakah
Aku dan tangan
Tak saling berebutan?
Ketika kulihat
Airmata menetes di
Pipimu,
Siapa lebih dulu mengusap
Lembut sepasang lisung
Yang membenamkan.
2008
Ziarah dada
Aku baringkan
Tubuhku
Darah mengaliri
Ragaku
Bagai sungai
Yang melewati kampung-kampung
Dan bernujum di lautan
: ibu dari sungai-sungai
Aku anak yang kehilangan
Rupa, dan sulit
Menemukan wajahnya
Yang ceria.
2008
Faisal syahreza, Penyair Cianjur ini sedang merampungkan pendidikannya di UPI, Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya tergabung di antologi sastra senja, SELALU ADA RINDU (2006, DKJ). Puisi dan cerpennya dimuat surat kabar daerah maupun nasional (Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Jurnal Sastra Lazuardi, Majalah Sastra Horison Dll) Kini bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Sanggar Sastra Remaja Indonesia, Horison.
Dukung Ferdinaen Writer dalam Kontes Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia
0 Response to "Puisi Faisal Syahreza"
Post a Comment